*Mayoritas & Minoritas, Konsep Yang Menjijikkan di Negeri Ini*

*Mayoritas & Minoritas, Konsep Yang Menjijikkan di Negeri Ini*

Penulis Denny Siregar Diterbitkan Kamis, Agustus 23, 2018
 
Minoritas
Dokter Otto

"Bang, kenapa minoritas di negeri ini masih ditekan?"

Aku menoleh kepada seseorang yang bertanya. Heran. "Minoritas? Siapa yang dimaksud minoritas?" Tanyaku. Dia kaget dengan pertanyaanku. "Ya kami inilah. Ras Tionghoa. Yang beragama Kristen dan sebagian Budha.." Jawabnya.

Ahh, minoritas mayoritas. Entah kenapa manusia tanpa sadar sudah mengkotakkan dirinya melalui ras dan agama. Yang merasa kuat melakukan propaganda, "Kami mayoritas!". Dan yang merasa lemah termakan propaganda, "Memang kami minoritas..".

Padahal hukum kita tidak membedakan warga negara berdasarkan apa agama dan rasnya. Tetapi ada manusia yang merasa menang karena jumlahnya banyak, dan ada manusia yang sudah kalah sejak dalam pikiran. Mereka inilah yang terkontaminasi konsep mayor dan minor. Onani dengan pikirannya sendiri..

Jika yang disebut mayoritas itu adalah muslim, tentu yang harus mengaku bahwa mereka mayoritas itu adalah Nahdlatul Ulama.

Kenapa ? Karena jumlah komunitas mereka saja diperkirakan 80 juta dari 260 juta warga Indonesia. Tapi apakah mereka pernah berkata, kamilah mayoritas? Tidak pernah. Bahkan Gus Yaqut, ketua GP Ansor yang mewakili pemuda NU, selalu mengumandangkan tagar #Kitainisama.

Lalu siapa yang sibuk berkumandang "Kami muslim, kami mayoritas.."? Lha, ya gerombolan kecil para pemabuk agama yang selalu sibuk mengkafir2kan itu. Anehnya, banyak yang percaya propaganda mereka, terutama non muslim yang lemah dan selalu menganggap bahwa, "Iya, kami ini minoritas.."

Kelompok kecil bergamis yang jumlahnya gak ada puluhan ribu, supaya mereka terlihat besar memang selalu berkoar, "Kami mayoritas !". Padahal oleh mayoritas muslim di Indonesia, mereka cuman diketawain aja. "Elu sendiri minoritas dikalangan muslim, eh sok teriak mayoritas segala.."

"Terus gimana dong nasib Meiliana yang divonis penjara 18 bulan, hanya karena menegur kerasnya Azan. Itu kan karena dia minoritas ??" Sanggah orang tadi..

Ah, minoritas lagi. Entah kenapa lagu "minoritas" ini seperti lagu Rinto Harahap, yang nuansanya selalu sedih dan liriknya bikin mata bengap. Kadang saya heran, kenapa sih kok nyaman bersembunyi dalam konsep bahwa, "Aku minoritas, dia mayoritas.."

Seorang teman bernama Dr. Otto Radjasa, adalah korban permasalahan di pengadilan, sebelum kasus Ahok bergema. Dia dihukum 2 tahun penjara di Balikpapan karena mengungkapkan kekritisan pikirannya lewat media sosial. Dia didemo dan akhirnya jadi terdakwa.

Padahal dia seorang muslim sejati. Rasnya pun bukan Tionghoa. Tapi dia dihukum karena "menghina agama" dimana yang dikritisi adalah agamanya sendiri..

Apakah ini berarti masalah mayoritas minoritas ??

Bukan. Ini masalah subjektifitas di pengadilan yang rentan terhadap tekanan dari gerombolan yang merasa berkuasa. Mungkin saja pengadilan itu terkontaminasi virus mabuk agama. Tapi itulah masalah besar kita. Sekian tahun kelompok radikal ini menyebar dan dibiarkan, bukan tidak mungkin infiltrasi mereka sudah masuk ke pengadilan.

Karena itulah kita berjuang supaya mereka tidak makin besar di negeri ini. Dengan melakukan tekanan dan gerakan sosial, baik melalui media maupun melalui media sosial. Kita lawan pikiran-pikiran ini dengan pikiran juga. Kita hancurkan konsep mereka bahwa mereka mayoritas di negeri ini.

Butuh perjuangan panjang memang. Dan juga pasti ada korban seperti yang dialami Dr. Otto, Meiliana dan tentunya Ahok yang dituding penista agama. Tapi mereka adalah martir yang membuka tabir bahwa "ada masalah" didalam sistem pengadilan kita. Situasi yang harus dibenahi oleh internal pengadilan itu sendiri..

Tapi bagaimana bisa berjuang, jika terus merengek, "Kami minoritas.." ?

Kekalahan utama dari orang waras di negeri ini, adalah karena banyak dari kita sudah kalah sejak dalam pikiran. Dan kelemahan itu dimanfaatkan oleh kelompok "tukang stempel kafir" itu untuk terus menekan. Karena dengan menekan itulah mereka tumbuh besar..

Belajarlah dari sesendok gula. Ia tidak disebut dalam kenikmatan secangkir kopi. Tapi ia tidak pernah merengek bahwa, "Kami minoritas. Kami minta diakui..".

Sesendok gula adalah penyeimbang dari pahitnya situasi dan memberikan kenikmatan dalam mencecap sehingga satu cangkirpun tidak cukup, harus tambah lagi...

"Bu, kopinya lagii..." Teriakku kesal.

"Yang kemarin hutangnya sudah dibayar ?" Terdengar suara menyeramkan dari balik dinding dapur yang akhirnya muncul dengan segagang sapu tanda bahwa aku harus segera menyingkir sebelum teriak-teriak dizolimi..

Seruputtt.